5 Arsitektur Masjid Jakarta sebagai Destinasi Wisata Religi
Saat bulan suci Ramadan, tidak ada salahnya untuk melakukan wisata religi dengan mengunjungi beberapa masjid yang ada di Jakarta. Seperti yang dilakukan Astriza di Halal Kuliner dan Ricky W. Miraza di Jelajah Halal. Mereka berwisata religi mengunjungi beberapa masjid di Jakarta, tak hanya hati saja yang akan mendapat ketenangan, jiwa raga juga seakan ikut tenang sekaligus senang melihat kemegahan arsitektur masjid-masjid yang telah mereka kunjungi.
Masjid memiliki banyak keunikan dari segi arsitektur. Mulai dari desain, nilai konsep yang berbeda, hingga akulturasi budaya, semua unsur tersebut bersatu padu dan menghasilkan bangunan masjid yang unik. Arsitektur masjid juga memiliki nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari. Bahkan beberapa arsitektur masjid pun memadukan antara budaya islam yang kuat dengan budaya asing. Sehingga bangunan masjid dapat menunjukkan keragaman dan kekayaan bentuk, fungsi, dan makna yang mencerminkan akulturasi budaya lokal, Islam, dan budaya asing.
Yuk simak 5 arsitektur masjid di Jakarta yang pernah dikunjungi Astriza dan Ricky W. Miraza!
Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman, Jakarta Selatan
Arsitektur Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman memiliki konsep yang unik serta cerita menarik dalam pembangunannya. Masjid ini terletak di Jalan Casablanca, Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman dapat kamu kunjungi sebagai destinasi wisata religi.
Masjid Agung Al-Munada Darussalam Baiturrahman atau lebih dikenal sebagai Masjid Perahu ini sudah ada sejak 1963. Sebutan Masjid Perahu berasal dari bangunan perahu yang ada tepat di samping bangunan utama masjid. Perahu inilah yang sekaligus menjadi ciri khas unik arsitektur Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman.
Mengenai bentuk perahu tersebut, KH Abdurrahman Masum terinspirasi oleh sosok Nabi Nuh dan kaum mukminin yang diselamatkan Allah SWT di atas kapal, sehingga beliau mendirikan masjid menyerupai perahu. Bangunan perahu ini diperuntukkan sebagai toilet dan tempat wudhu. Sementara bagian lantai atas perahu biasanya digunakan untuk para musafir yang hendak singgah atau sekedar berdiam diri.
Arsitektur pada bangunan utama masjid, bagian interiornya dipenuhi ornamen kayu. Termasuk bagian tiang dan sebagian dindingnya. Untuk tiang utamanya terdiri dari empat tiang kayu berukuran besar. Empat tiang utama pada bangunan masjid dikenal dengan istilah saka guru atau soko guru. Pada dua tiang di bagian depan, permukaannya dilengkapi dengan ukiran kaligrafi. Sementara itu, dua tiang yang di belakang dibiarkan dengan tekstur alaminya.
Selain itu, masjid dengan kubah berbentuk kerucut bersusun dua ini juga dilengkapi dengan satu kilogram emas yang diletakkan di bagian puncaknya. Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman juga memiliki koleksi Al-Qur'an raksasa yang ditulis tangan dengan ukuran cukup besar. Ukuran Al-Qur’an tersebut mencapai 2x1,5 meter dengan ketebalan 30 sentimeter. Al-Qur'an ini disimpan di sebuah kotak kayu jati berukir kaligrafi.
Di sekeliling Al-Qur'an, terdapat beberapa batu permata dalam ukuran super besar. Diperkirakan berat batu permata ini mencapai puluhan kilogram. Berbagai jenis batu permata cantik ini merupakan koleksi milik KH Abdurrahman Masum yang sebagian besar didapatkan dari Sukabumi, Jawa Barat.
Keunikan dan keindahan dari arsitektur Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman bisa kamu saksikan dengan mengikuti perjalanan Astriza di program Halal Kuliner : Taste of Middle East (Part 1).
Masjid Cut Meutia, Jakarta Pusat
Arsitektur Masjid Cut Meutia khas dengan arsitektur bangunan Belanda. Hal ini dikarenakan sejarah awal Masjid Cut Meutia yang memang merupakan salah satu peninggalan sejarah dari zaman penjajahan kolonial Belanda. Bangunan ini dulunya sebuah kantor biro arsitektur dan pengembang bernama N.V. De Bouwploeg yang selesai dibangun tahun 1912. Setelah Indonesia merdeka, gedung ini pernah dipergunakan sebagai kantor Walikota Jakarta Pusat, Kantor Perusahaan Daerah Air Minum, Kantor Pos, dan Kantor Dinas Perumahan Jakarta.
Pada waktu itu, bangunan Masjid Cut Meutia pernah menjadi kantor Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang dipimpin oleh Jenderal AH Nasution. Setelah kantor MPRS dipindahkan ke Senayan, AH Nasution tidak ingin gedung itu difungsikan kembali menjadi sebuah kantor. Dia mengusulkan agar gedung dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sebuah masjid, karena di sekitar Kebon Sirih masih jarang masjid. Kemudian bangunan tersebut diresmikan sebagai sebuah masjid pada 18 Agustus 1987 dan dinamakan Masjid Cut Meutia.
Nama Masjid Cut Meutia diambil dari jalan yang berada di dekat gedung tersebut. Lokasi Masjid Cut Meutia terletak di Jalan Cut Meutia Nomor 1 Menteng, Jakarta Pusat. Di Masjid Cut Meutia, kamu akan melihat arsitektur masjid yang khas dari bangunan Belanda berpadu dengan seni kaligrafi Islam. Berbagai tulisan Arab tampak menghiasi dinding masjid yang kokoh.
Bangunan masjid didominasi dengan warna putih seperti gaya bangunan kolonial. Di dalamnya terdapat mimbar antik yang sudah digunakan sejak masjid pertama kali ada. Menariknya, karena bagunan dari awal tidak dirancang sebagai tempat ibadah, begitu dijadikan masjid arah kiblat di dalamnya harus dibuat miring 15 derajat dari sisi tembok bangunan.
Interior Masjid Cut Meutia juga terbilang unik sebab bangunan kotak itu memiliki langit-langit yang tinggi dan berbentuk kotak, serta tidak memiliki kubah bundar. Selain tidak memiliki kubah, tembok-tembok bangunan masjid ditopang dengan tiang-tiang tinggi untuk menyangga langit-langit.
Masjid Cut Meutia cocok dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata religi yang dapat dikunjungi. Ikuti perjalanan Astriza di program Halal Kuliner : Kuliner Tempoe Doeloe (Part 1) untuk menyaksikan keindahan arsitektur Masjid Cut Meutia.
Masjid Ramlie Musofa, Jakarta Utara
Arsitektur Masjid Ramlie Musofa nampak seperti replika Taj Mahal di India. Masjid Ramlie Musofa berada di Jalan Danau Sunter Raya, Sunter Agung, Jakarta Utara. Masjid ini didirikan oleh Haji Ramli Rasidin yang merupakan seorang mualaf beretnis Tionghoa. Nama masjid ini diambil dari inisial pendiri dan keluarga lainnya, yakni Ramli, istrinya Lie, dan anak-anaknya, yaitu Muhammad, Sofian, dan Fabian (Ramlie Musofa).
Berdiri megah dengan dominasi warna putih, masjid Ramlie Musofa memiliki arsitektur yang terinspirasi dari keindahan Taj Mahal di India dilengkapi dengan kubah yang menjulang tinggi. Sama seperti Taj Mahal yang dibangun sebagai lambang cinta dari seorang raja kepada sang istri, masjid ini juga didirikan atas dasar kecintaan sang pendiri masjid yaitu Haji Ramli Rasidin, atas kecintaannya kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada Al-Qur’an, kepada Islam dan juga kepada keluarganya.
Masjid Ramlie Musofa didominasi dengan warna putih dan lantai berwarna hitam. Tulisan kaligrafi berwarna emas dalam tiga Bahasa, yaitu Mandarin, Indonesia, serta Arab menghiasi sejumlah titik bangunan dan menambah keunikan dari masjid ini. Termasuk halaman depan masjid sebelum naik ke lantai atas nampak surat Al-Qoriah yang ditulis dalam bahasa Mandarin, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab.
Pada tangga utama menuju ke dalam masjid juga terdapat terjemahan ayat dari Surat Al Fatihah, surat pertama pada Al Quran, dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut bertujuan untuk mempermudah semua pengunjung yang datang terutama penggunaan bahasa mandarin untuk memudahkan turis Tionghoa yang datang untuk memahami maksud kebaikan dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Sedangkan bagian dalamnya tampak seperti Masjid Nabawi, Madinah dengan pilar-pilar tinggi berwarna putih. Serta kaca-kaca dengan tulisan kaligrafi menghiasi bagian dalam masjid. Selain itu, ukiran kaligrafi berbahasa Arab juga menghiasi interior kubah masjid dan menambah keindahan dari masjid yang diresmikan pada tahun 2016 ini.
Sampai di atas, pengunjung akan disambut dengan sejuknya hawa masjid. Pengunjung bisa melihat bentangan Waduk Sunter hingga ke seberang, dengan angin sepoi-sepoi yang menyapa. Di sisi luar tampak sepasang pentungan dan bedug berlapis kulit warna coklat tua yang akan dibunyikan saat adzan berkumandang.
Ikuti perjalanan Astriza mengunjungi Masjid Ramlie Musofa di program Halal Kuliner : Jejak Oriental (Part 1) untuk menyaksikan kemegahan serta keindahan arsitektur Masjid yang menyerupai Taj Mahal tersebut.
Masjid Jami’ An Nawier, Jakarta Barat
Arsitektur Masjid Jami’ An Nawier cukup megah dengan dilengkapi sentuhan bergaya Eropa. Masjid Jami’ An Nawier berdiri sejak abad ke-18, tepatnya pada 1760 M dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Masjid ini terletak di Jalan Pekojan Nomor 71, Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Masjid Jami’ An Nawier dibangun oleh Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. Nama An-Nawier memiliki arti bersinar yang diharapkan agar Masjid Jami’ An Nawier dapat menyinari wilayah sekitarnya.
Masjid Jami’ An Nawier disebut sebagai salah satu masjid tertua di Jakarta. Masjid ini memiliki peran sebagai tempat penyebaran syiar Islam di Tanah Betawi. Sejarah terbentuknya masjid ini dapat dilihat dari situasi dan kondisi pada 300 tahun lalu. Pada masa itu, penduduk di sekitar masjid didominasi etnis Arab yang berilmu dan bertugas untuk berdakwah dan menyebarkan ajaran agama Islam. Sehingga terlihat di wilayah tersebut banyak dibangun tempat-tempat ibadah pada saat itu, salah satunya Masjid Jami’ An Nawier.
Setiap arsitektur Masjid Jami’ An Nawier memiliki filosofi yang berkaitan dengan ajaran Islam. Seperti 5 pintu yang menghadap kiblat melambangkan rukun Islam, 6 pintu di samping masjid melambangkan rukun iman, dan 33 pilar melambangkan makna filosofis sesuai tasbih, tahmid dan takbir. Pilar-pilar tersebut dilengkapi dengan galur-galur vertikal sehingga mirip pilar bangunan khas Eropa.
Tempat berwudhu di area depan masjid juga diberi sentuhan gaya Eropa. Cat bagian dalam masjid didominasi dengan warna putih dan emas serta lampu-lampu yang digunakan juga masih bernuansa antik khas tempo dulu. Masjid Jami’ An Nawier juga memiliki sentuhan nuansa Arab yang berasal dari adanya mimbar yang tampak antik. Diketahui mimbar tersebut merupakan hadiah dari Sultan Pontianak, Syarif Algadri, yang memerintah pada abad ke-18.
Sisi lain dari Masjid Jami’ An Nawier juga terlihat unik karena menaranya. Menara masjid ini cukup tinggi menjulang. Letaknya berada di sisi timur laut, menyatu dengan ruang utama. Sekilas, bentuknya menyerupai sebuah mercusuar.
Masjid Jami’ An Nawier cocok dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata religi yang dapat dikunjungi. Sebelum berwisata religi, yuk ikuti perjalanan Ricky W. Miraza saat mengunjungi Masjid Jami’ An Nawier untuk berwisata religi sekaligus mempelajari sejarah Islam di program baru Jelajah Halal di Ramadan Channel.
Masjid Lautze, Jakarta Pusat
Masjid Lautze terletak di Jalan Lautze Nomor 87-89, Karanganyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Bentuk arsitektur Masjid Lautze tidak menyerupai masjid pada umumnya yang dilengkapi dengan kubah dan menara. Melainkan bangunan masjid ini berbentuk ruko berlantai empat.
Empat lantai dari bangunan Masjid Lautze terdiri dari lantai atau ruang pertama yang merupakan tempat ibadah untuk jamaah laki-laki. Sedangkan lantai dua terdapat ruang ibadah perempuan lengkap dengan toilet dan tempat wudhu. Lantai tiga adalah kantor pengurus, dan lantai empat adalah aula pertemuan sekaligus ruang belajar.
Berbentuk ruko berlantai empat, Masjid Lautze dilengkapi corak mencolok layaknya kelenteng dengan perpaduan warna merah, kuning dan hijau.
Desainnya pun mirip dengan bangunan khas China, dilengkapi corak mencolok layaknya kelenteng. Warna Masjid Lautze juga mirip dengan vihara yang bertujuan agar memberikan kedekatan kepada para mualaf China sehingga mereka tidak merasa canggung. Perpaduan warna merah, kuning dan hijau sangat dominan terlihat di Masjid Lautze.
Masuk dari pintu depan, pengunjung akan melewati 4 pintu utama yang dicat berwarna merah. Usai melewati pintu, pengunjung akan menemui mimbar yang jadi satu dengan ruang utama. Di sini nuansa hijau dan kuning terasa kental sekali. Adapun sejumlah kaligrafi bertuliskan huruf Arab dan tulisan Mandarin berjejer rapi di dinding masjid.
Tak hanya bangunan yang unik, pemilihan nama Lautze juga memiliki alasan kedekatan terhadap warga China mualaf. Selain karena berlokasi di Jalan Lautze, para pendiri yayasan ingin agar warga China tidak merasa canggung saat berkunjung. Masjid Lautze juga sangat terbuka bagi pengunjung non-muslim yang sekadar ingin diskusi atau berbagi tentang agama.
Masjid Lautze didirikan oleh Yayasan Haji Karim Oei. Pendirian yayasan di kawasan tersebut dimaksudkan untuk menyampaikan dakwah ke warga keturunan Tionghoa. Nama Haji Karim Oei merupakan sebuah nama dari seorang tokoh nasional keturunan China. Untuk mengenang semua perjuanganya, salah satu anaknya yakni Alim Karim beserta sahabat-sahabatnya mendirikan yayasan. Masjid Lautze diresmikan pada tahun 1991 oleh yayasan tersebut.
Ikuti perjalanan Ricky saat berkunjung ke Masjid Lautze di Jelajah Halal di Ramadan Channel. Tidak hanya Masjid Jami’ An Nawier dan Masjid Lautze yang dikunjungi Ricky, ada banyak lagi wisata religi lainnya.
Yuk saksikan pesona keindahan arsitektur masjid-masjid lainnya yang ada di Halal Kuliner bersama Astriza yang mendokumentasikan ke dalam vlognya ke tempat-tempat bersejarah Islami. Selain itu ada juga Jelajah Halal bersama Ricky yang mencari jati diri dengan menjelajahi tempat-tempat humanis dan berwisata islami. Tak lupa juga setelah berkeliling melihat megahnya arsitektur masjid, ada pula destinasi dari restoran-restoran halal yang dikunjungi mereka. Siapa tahu menjadi destinasi selanjutnya buat kamu untuk berbuka puasa .